Natal, antara Perayaan dan Peringatan
Menjelang
Hari Natal dan Tahun Baru, banyak teman hampir selalu mengatakan, “Hari
Natal dan Tahun Baru nanti mau liburan ke mana?” Setiap saya menjawab
“akan berkumpul bersama keluarga di rumah”, pasti mereka kaget.
Reaksi ini mungkin mengambarkan pandangan saudara-saudara non-Kristen terhadap perayaan natal yang serba glamour
dan mewah. Hal ini sebenarnya tidak mutlak benar karena sebenarnya
latar sejarah kelahiran Yesus Kristus kontradiktif dengan peringatannya
pada masa sekarang.
Sepanjang
pengetahuan saya, Yesus Kristus lahir dalam keadaan yang tragis. Ketika
itu, Israel dianeksasi Romawi, bayi laki-laki dibunuh karena Kaisar
Agustus telah mendengar akan ada raja besar yang lahir. Lebih dari itu,
Maria dituding mengadung di luar menikah karena hubungannya dengan Yusuf
hanya sebatas tunangan. Apalagi kebijakan Kaisar Agustus untuk mendata
semua penduduk semakin memberatkan beban Maria yang kala itu sedang
hamil tua. Dalam suasana yang serba kalut itu, Maria dan Yusuf tidak
dapat menemukan tempat penginapan yang layak, dan akhirnya hanya kandang
domba yang tersisa untuk tempat ia bermalam dan bersamaan dengan itu
Yesus pun lahir di tempat tersebut.
Natal sebagai Peringatan
Berkaca
dari proses kelahiran Yesus Kristus, seharusnya umat Kristiani sekarang
harus dapat memaknai Natal tersebut secara mendalam. Artinya, bukan
kemewahan, penghambur-hamburan uang, dan segala hal yang glamour.
Makna Natal yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan manakala setiap
orang Kristen mencoba mendekonstruksi proses kelahiran Yesus itu sendiri
dan penderitaan Maria dan Yusuf. Bagaimana penderitaan
Maria dan Yusuf yang harus berjalan jauh dalam kondisi hamil tua dan
tidak ada satu orang pun yang mau menerima mereka di rumahnya, dan hanya
satu orang yang akhirnya mempersilahkan mereka untuk menginap, itu pun
di kandang domba. Anehnya, Yesus yang “dianggap” raja itu lahir di
tempat yang tidak semestinya.
Kalaupun
agak sulit untuk membayangkan proses kelahiran Yesus itu sendiri, dalam
menghadapi Natal, seorang Kristen paling tidak harus mempunyai hati
yang bersih untuk memperingati hari Natal ini. Harus ada niat tulus,
misalnya, pergi ke gereja bukan semata-mata agenda tahunan, selain Hari
Paskah, tetapi ada keinginan untuk menyambut Yesus sebagai juru selamat
manusia.
Lebih
indah rasanya apabila setiap orang Kristen dapat merayakan Natal dengan
penuh kesederhanaan. Bukan dengan baju baru, pohon natal, hidangan yang
mewah, dan lain sebagainya, tetapi sebuah kesahajaan dan tidak berpusat
kepada spiritualitas. Hal ini bias diwujudkan, misalnya, dengan pergi
ke suatu tempat yang sunyi, tanpa segala hal yang berlebihan, berdoa,
merenung, dan merefleksikan diri tentang makna kelahiran Yesus itu
sendiri. Dengan begitu, diharapkan kehangatan Natal akan lebih berarti
dan berkesan bagi kehidupan umat manusia.
Natal sebagai Perayaan
Yesus
merupakan suatu pribadi yang luar biasa. Dalam Alkitab diceritakan
bahwa misi kedatangan Yesus ke dunia adalah untuk mneghapuskan dosa
manusia. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan di atas, awal kehidupan
kehidupannya selalu dilingkupi oleh penderitaan. Hal ini bahkan terjadi
pada saat ia dewasa, bahkan sampai proses penyalibannya. Namun begitu,
ia tetap menjadi pribadi yang sederhana, mau melayani, dan tidak mau
menimpakan beban hidupnya kepada orang lain.
Walaupun
dalam latar historis yang tidak mengenakkan, namun Yesus sendiri tidak
ingin mengajak umatnya untuk merasakan penderitaannya dalam setiap
peringatan kelahirannya. Sebaliknya, Natal menjadi perayaan, sebuah
titik balik kehidupan manusia ketika sang mesias lahir ke dunia ini
untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa.
Itulah
sebabnya, dalam setiap perayaan Natal, umat Kristiani selalu
mengedepankan sukacita, selain damai, baik dalam kebaktian di gereja
maupun segala kegiatan di luar gereja. Hal yang menjadi masalah adalah
ketika makna sukacita ini diterjemahkan dengan cara menghambur-hamburkan
uang, yang sebenarnya jauh tidak penting daripada memaknai natal dengan
cara menebarkan sukacita natal itu melalui ucap kata, gerak-gerik, dan
pikiran kepada seluruh umat manusia. Bukankah Yesus pernah mengatakan
“Jadilah garam dan terang dunia”.
Perayaan
Natal dengan penuh kesukacitaan merupakan makna Natal yang terindah.
Akan tetapi hendaknya rasa sukacita ini tidak disalahartikan sehingga
menciptakan streotip di lingkungan masyarakat non-Kristiani bahwa inti
dari perayaan Natal itu harus serba mewah dan glamour. Hal ini
bukan saja berpotensi menciptakan kesenjangan sosial di tengah
masyarakat, tetapi juga telah mencederai makna Natal itu sendiri.
Rayakan Natal dengan sukacita, yaitu dengan cara menebarkan benih
kedamaian ke seluruh dunia.
Selamat
Natal dan Tahun Baru. Jadikan Natal sebagai peringatan dan perayaan
yang tidak mengedepankan unsure materi tetapi spritualitas sehingga
pesan universal Natal dapat sampai dan diterima seluruh manusia di bumi
ini.
Repost from: http://teguhmanurung.wordpress.com/2008/12/24/natal-antara-perayaan-dan-peringatan/
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.