Zona Nyaman

Hidup ini seperti gelombang, seperti siklus, pada saat-saat tertentu, seperti ada di persimpangan jalan.  Orang yang berani mendaki gunung, akan melihat keindahan panorama, orang yang berani menyelam ke dalam laut, akan melihat indahnya batu karang dan aneka jenis ikan dengan warna mempesona.  Saat di persimpangan jalan,orang bisa  mengambil keputusan belok, entah kiri entah kanan, kadang keduanya bagus dan keduanya ada halangan, hanya sayang banyak orang memilih balik arah dan kembali ke rumah.

Batas seseorang tidak bisa mencapai prestasi tertinggi dan hidup dengan maksimal adalah yang tidak bisa menembus batas terakhir dari hidupnya, yaitu zona nyaman.  Bahkan mereka tidak berpikir kalau itu dinding yang membatasi, mereka tidak merasakannya sebagai pembatas, mereka meyakininya sebagai tembok perlindungan dan berkat.

Saya merasa nyaman dengan jabatan saya.  Sebagai orang kampung yang merantau ke Jakarta, mengalami puluhan kali melamar, interview dan ditolak, mengerti benar mencari pekerjaan tidaklah mudah.  Setelah bekerjapun, tahu, bahwa suasana kerja dan kesempatan maju, tidak bisa diberikan di semua perusahaan sebagus dan sebaik  di ASTRA.  Sungguh tahun 1990-1992, perusahaan ini menjadi tempat nyaman bagi saya. Inilah tempat saya akan berkarier menuju masa depan.

Saya masuk th 1990 lewat jalur ‘management trainee’ setelah lolos seleksi berlapis-lapis, merupakan kumpulan angkatan baru orang-orang muda, energik, antusias, ditraining menjadi calon leader dan diberi kesempatan luas, untuk menopang rencana ASTRA ke depan sebagai perusahaan besar nasional yang bertumbuh yang memerlukan banyak leader.

Singkatnya, ketika tahun 1992 mau keluar dari ASTRA, isteri saya sempat bertanya, jika kamu keluar dari pekerjaan dan membuka usaha sendiri, kalau gagal bagaimana? Sekarang khan sudah enak, gaji besar, sering ke luar negeri dan sisa uang saku (dollar) cukup lumayan, belum komisi dan bonus serta sudah mendapat fasilitas mobil, padahal belum ada 3 tahun kerja, jadi 10 atau 15 tahun kedepan, pasti ada jaminan yang lebih dan lebih lagi. Percakapanpun terjadi;

      “Kalau gagal bagaimana?” 
      “Ya kalau gagal... kalau berhasil khan luar biasa” 
      “Ya kalau berhasil, kalau gagal bagaimana?”
      “Pasti berhasil...!”
      “Belum tentu ... tidak ada yang pasti... kalau gagal?”

Saya hanya berpikir, saya orang miskin, orang desa, merantau ke Jakarta.  Kalau saya gagal, ya..... kembali miskin lagi.  Mulai dari titik nol.  Saya sudah puluhan tahun miskin, maka apa yang ditakutkan dengan kemiskinan, saya sudah puluhan tahun hidup tidak nyaman dan tanpa kemapanan, jadi apa yang saya takutkan dengan hal itu?

      “Ya... itu kamu dulu, sekarang sudah menikah dan sudah ada anak satu, sebentar lagi anak ke dua lahir?”

Sayapun berandai-andai kalau misalnya gagal, ya ... mulai lagi melamar sana-sini mencari pekerjaan baru.   Saya meninggalkan karier yang sudah saya bina 3 tahun, jadi jika saya mulai dari awal lagi, dengan kata lain rugi 3 tahun. Tetapi kalau tidak dicoba, bagaimana tahu bahwa saya akan berhasil atau gagal... satu-satunya cara untuk mengetahui ya mencobanya, dan saya benar-benar ingin mengetahuinya.

Atau bertanya ke dukun atau peramal? Apakah saya akan berhasil sebagai pengusaha atau sebagai pegawai saja?  Namun saya tidak percaya hal itu. Mencoba adalah cara terbaik.  Mencoba atau dengan kata lain BERANI GAGAL.  Toh semua orang juga pernah gagal.  Hanya orang yang berani gagal yang akan berhasil, berhasil menembus batas zona nyaman, dan dibalik batas itu ada peluang sukses besar atau hancur.  Kita hanya akan tahu, jika berani mencoba.

Source: InspirasiSukses (facebook)

No comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Powered by Blogger.